mjumani.net - Apakah di antara kalian ada yang "alergi" jarum suntik?. Terdengar lucu bagi mereka yang terbiasa tapi bagi kamu yang senasib ini bisa jadi sama menakutkannya seperti mereka yang globophobia melihat balon. Tapi ini bukan membicarakan tentang salah satu ketakutanku. Aku tidak. Maksudnya, aku tidak takut jarum suntik, hanya saja jika masih ada kesempatan 0,001% untuk tidak berurusan dengan benda horor itu maka akan ku timbang segala konsekuensinya. Malangnya hari ini sepertinya aku tidak punya pilihan seperseribu itu untuk dijadikan alasan.
Lab. dr Tony Banjarmasin |
Bukti Registrasi |
Dimasa PSBB perjalanan sejauh 400km ini setidaknya melewati empat titik posko pemeriksaan. Namun amang Encuy bilang saat ini posko yang masih bertahan hanya di Palangkaraya. Amang Encuy?, oh, kalau beliau ini adalah driver "taksi" langganan pulang pergi Banjarmasin - Tumbang Samba. Aku sering bertanya padanya, masalah apa saja yang dalam aspek penilaianku itu memang layak untuk ditanyakan. Kadang saking asyiknya aku merasa seperti seorang jurnalis yang sedang menggali berita dari pakarnya. Meski banyak pertanyaan yang bisa ditanyakan kepada beliau, aku biasanya memilih topik yang memang erat dengan profesinya, beliau hapal betul setiap titik SPBU, jalan yang rusak, berapa jembatan timbang, jembatan rusak, polisi tidur dan tentunya tidak terkecuali jumlah posko Covid 19 aktif yang harus Ia lewati agar bisa sampai di tujuan, karena itu aku sangat yakin narasumber ku kali ini sangat kredibel.
Kota Cantik ini memang sangat tegas dalam menerapkan protokol pencegahan Covid 19.
Tidak hanya dari amang Encuy, media dan temanku juga sudah mewanti-wanti. "Lebih baik, rapid test saja. Minta surat jalan", sarannya. Agaknya ia sedikit trauma karena harus berjibaku adu argumen dengan petugas untuk dapat lolos tanpa membawa surat keterangan bebas covid 19.
"Masih bisa lolos?", tanyaku via whatsapp.
"Tergantung seberapa sakti lidah dan isi dompetmu", balasnya singkat.
Jangan salah paham, ini bukan tentang suap menyuap atau uang tips. Kejadian yang murni karena alur yang melenceng dari skenario ini berawal dari ketika Ia memesan "travel" untuk tujuan yang Palangkaraya. Apesnya, saat ditanya perihal posko pemeriksaan sang supir menjanjikan jaminan bisa lolos dengan aman. Nasi sudah menjadi bubur, sang supir memang tidak ingkar hanya saja prosesnya jauh dari espektasi. Selain harus pandai "berkelit" ia juga harus menunjukan kartu-kartu sakti tanda bahwa Ia memang harus melakukan perjalanan demi melaksanakan tugas yang sifatnya "segera".
Mati aku. Silat, kung fu, atau kuntau lidah atau apalah namanya itu benar-benar bukan keahlianku. Aku perlu tiket. Surat jalan yang menunjukan bahwa aku layak lewat, non reaktif. Anehnya, gambaran Surat Keterangan Bebas Covid 19 yang tadinya selembar kertas putih dengan cetakan beberapa kumpulan hurup dan angka kini jauh lebih nampak jarum suntik di kepalaku.
Oh, ya. Kalia tau?.
Jika saja khitan tidak wajib dan pelarian kami dari petugas imunisasi sewaktu SD tidak dicegat paman sekolah, seumur hidup aku mungkin hanya sekali berurusan dengan jarum suntik. Sialnya, aku juga pernah menghadapi situasi seperti ini, saat medical check up untuk keperluan pekerjaan. Kini aku dihadapkan pada situasi serupa seperti enam tahun yang lalu, tidak ada celah meski hanya sekecil 10⁻³ untuk mengelak.
Rapid test atau serulogis adalah metode pemeriksaan untuk mendeteksi adanya IgM dan IgG yaitu antibodi di dalam tubuh yang bertugas melawan virus corona. Hasil pemeriksaan biasanya ada dua yaitu positif (reaktif) dan Negatif (non reaktif). Apapun hasil rapid test sebenarnya belum bisa dijadikan dasar diagnosis. Akan tetapi dengan melakukan uji skrining ini seseorang dapat mengetahui potensi gangguan kesehatan dan menentukan tindakan tepat dan harus diambil selanjutnya.
Hasil positif dari rapid test belum bisa menjadi dasar bahwa seseorang tersebut telah terinfeksi Covid 19, karena bisa saja tubuh yang bersangkutan sedang bereaksi atau melawan virus corona yang lain bukan SARS-CoV-2 penyebab Covid 19. Namun hasil tersebut dapat dijadikan acuan untuk segera melakukan tes PCR atau Polymerase Chain Reaction sebagai dasar diagnosis terutama jika memiliki riwayat kontak dengan penderita yang telah terkonfirmasi positif. Sebaliknya hasil negatif juga belum menjadi jaminan bahwa yang barsangkutan tidak terpapar virus corona. Karena bisa saja tubuh belum membentuk antibodi sebab proses ini berbeda-beda pada setiap orang dan dapat membutuhkan waktu 2-4 minggu. Untuk itu dianjurkan untuk melakukan rapid test kedua khususnya jika seseorang tersebut merasakan adanya gejala.
Hasil positif dari rapid test belum bisa menjadi dasar bahwa seseorang tersebut telah terinfeksi Covid 19, karena bisa saja tubuh yang bersangkutan sedang bereaksi atau melawan virus corona yang lain bukan SARS-CoV-2 penyebab Covid 19. Namun hasil tersebut dapat dijadikan acuan untuk segera melakukan tes PCR atau Polymerase Chain Reaction sebagai dasar diagnosis terutama jika memiliki riwayat kontak dengan penderita yang telah terkonfirmasi positif. Sebaliknya hasil negatif juga belum menjadi jaminan bahwa yang barsangkutan tidak terpapar virus corona. Karena bisa saja tubuh belum membentuk antibodi sebab proses ini berbeda-beda pada setiap orang dan dapat membutuhkan waktu 2-4 minggu. Untuk itu dianjurkan untuk melakukan rapid test kedua khususnya jika seseorang tersebut merasakan adanya gejala.
Di Banjarmasin ada beberapa tempat untuk melakukan Rapid Test Covid 19 yang biayanya bervariasi. Kabar baiknya, sejak adanya surat edaran Menteri Kesehatan, tarif ini relatif lebih murah dan merata di kisaran Rp 90.000 - 300.000 rupiah saja. Selain tempat periksa, jenis permintaan juga mempengaruhi biaya. Misalnya untuk kasusku, selain print out hasil tes aku juga memerlukan surat keterangan atau istilahnya surat jalan.
Meskipun terbilang banyak, aku memilih lab dr Tony yang beralamat di Jl. Veteran Sungi Bilu No. 18 Kec. Banjarmasin Tengah. Selain karena alasan relatif lebih dekat, prosesnya yang katanya lebih cepat membuatnya patut untuk digaris bawahi.
Pagi Kamis yang cerah sekira pukul sembilan tepat aku sudah bersiap. Tidak ada yang istimewa, kaos lengan panjang abu-abu celana panjang hitam, sandal jepit nipon dan tentu saja tidak ketinggalan masker adalah stelan yang sudah sangat umum aku gunakan saat keluar rumah. Situasi yang sedikit berbeda hanyalah kali ini aku berangkat dengan perut agak keroncongan.
Tentang perutku, ini bukan karena gabut. Tetapi karena kepolosanku menelan mentah-mentah saran dari temannya temanku yang menganjurkan puasa selama 10 jam sebelum melakukan rapid test. Maka pagi ini, aku sengaja tidak menyantap sarapan sup hangat yang sudah disiapkan pagi-pagi buta. Entah ini perlu atau tidak yang pasti saat check up hal ini tidak pernah disinggung atau ditanyakan.
Tidak sulit menemukan gedung Lab. dr Tony. Dengan sedikit bantuan dari Google map, pukul 09.30 aku sudah tiba. Ada sebuah area parkir yang tidak terlalu luas dan dijaga oleh seorang petugas paruh baya. Dilihat gelagatnya, aku tidak akan mendapatkan 3S dari beliau, maka kuputuskan nyelonong saja ke salah sudut dan segera memarkir.
Sudah menjadi tabiat, aku berusaha untuk tidak tergesa-gesa dan selalu menyisihkan sedikit waktu di tempat baru untuk mengamati sekeliling. Sebagai salah satu fasilitas medis suasana bersih dan nyaman sudah jelas terlihat sejak memasuki parkir. Beberapa jenis tanaman merambat dengan bunga merah muda yang menjuntai berpadan dengan alamanda yang rimbun di atap kanopi membuat suasana tampak "liar" namun tetap asri.
Himbauan untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah melaksanakan pemeriksaan, dipampang jelas di pintu kaca nan bersih. Tidak ada satpam atau petugas yang mengarahkan tamu. Pengunjung yang datang bisa langsung menuju bagian administrasi untuk registrasi atau menunggu di kursi-kursi putih yang telah diatur jaraknya sesuai ketentuan protokol kesehatan, jika harus mengantri.
Aku menuju wastafel di sisi kiri pintu masuk. Mencuci tangan dan menuju salah satu kursi putih yang kosong. Ada enam atau kurang lebih tujuh orang di ruangan itu, mereka menempati kursi di samping dan belakang ku. Beberapa dari mereka memegang selembar kertas, dan ketika petugas meneriakan nama, salah seorang diantaranya menuju pintu loket periksa. Rupanya aku duduk di sisi yang salah ini adalah kursi bagi mereka yang sudah mendaftar dan menunggu giliran untuk pengambilan sampel darah.
Beruntung, aku tidak harus berlama-lama di sana. Setelah dua antrian, kursi di bagian administrasi itu kini kosong. Tanpa menunggu, aku bangkit dan melangkah secepat mungkin namun berusaha tetap terlihat santai.
Seorang tenaga kesehatan perempuan yang berperawakan agak gempal sibuk mondar-mandir mengambil kertas yang baru saja keluar dari mesin cetak. Entah kenapa kertas itu tampak familiar. Tidak salah lagi, itu adalah kertas serupa yang dipegang beberapa pengantri dididekat tempat dudukku sebelumnya. Setelah menempelkan stiker berisi barcode dan menyerahkannya kepada petugas check up, perempuan itu kemudian duduk kembali di kursinya.
Petugas itu mencoba bertanya sejelas mungkin, namun masker yang dikenakannya dan dinding kaca yang membatasi kami membuatnya harus mengulang beberapa kali pertanyaan yang sama karena tidak tercerna dengan baik ditelingaku. Setelah menanyakan perihal keperluan, Ia memintaku menunjukan Kartu Tanda Pengenal (KTP). Tanganku meraih sesuatu dan mengeluarkannya dari saku belakang celana. Tidak perlu waktu lama, kartu berlatar biru dan tampak lusuh yang tadinya ada di dalam dompet yang sama lusuhnya itu sudah berpindah ke tangan lawan bicaraku.
Seakan tidak mau kalah dengan jari-jari yang menari lincah di atas tuts kyboard menginput satu persatu data yang diperlukan, mataku juga tidak kalah aktif mengamati sekeliling. Meski relatif luas, sejauh mata melihat tidak ada banner atau x banner diruangan ini. Maka beberapa lembar "brosur" yang ditempel tak jauh dari tempat duduk menjadi satu-satunya magnet yang menarik perhatian. Isi tiga lembar kertas tersebut adalah paket check up yang ditawarkan di lab ini. Lembar pertama berisi daftar paket check up umum, lembar kedua paket check up demam, sedangkan lembar ketiga yang sepintas lebih baru berisi daftar paket pra vaksinasi dan rapid test.
"No hp bapak?", tanya petugas itu membuyarkan konsontrasi. Sekali lagi, jari-jarinya bergerak dari satu angka ke angka yang lain mengikuti bilangan yang aku sebutkan, mengarahkan webcam dan memencet satu tombel terakhir yang diikuti bunyi decitan suara mesin pencetak.
"Dua-dua lima". Ujarnya sambil memperagakan isyarat jari.
Dua ratus dua puluh lima ribu rupiah ini adalah tarif paket yang harus dibayarkan. Paket Covid 2 berisi layanan pemeriksaan IgM dan IgG anti covid 19, serta selembar surat keterangan dokter untuk keperluan perjalanan.
Secara keseluruhan, proses registrasi ini kurang dari lima menit. Setelah memperoleh slip bukti registrasi, yang perlu dilakukan hanyalah menunggu panggilan petugas di bagian check up. Entah untung atau buntung, ketika bagianku aku bahkan belum sempat duduk di kursi tunggu ketika petugas check up memanggil.
Anehnya meski tau ini adalah waktunya eksekusi, aku manut saja. Seperti laron yang tertarik pada cahaya, kakiku melangkah percaya diri menuju loket check up. Loket itu juga di jaga oleh tenaga kesehatan perempuan ber APD lengkap. Ia memintaku menyerahkan bukti registrasi dan mengulurkan lengan kanan.
"Kepalkan tangannya pak", pintanya sebelum mengikatkan turniket berwarna biru di lenganku, tepat beberapa centi di atas lipatan siku. Lalu melakukan palpasi untuk memastikan letak vena median cubital yang kini semakin jelas menyembul.
Sejauh yang aku tau ini adalah proses yang sangat lumrah bagi proses phlebotomy (pengambilan sampel darah) dengan metode venipuncture melalui tusukan vena. Metode ini umumnya memang mengambil sampel darah dari vena median cubital yakni pembuluh balik yang terletak di bagian dalam lipatan siku sebab selain besar dan letaknya dekat dengan permukaan kulit, pembuluh darah ini juga tidak memiliki pasokan saraf besar.
Di dalam kepalaku gambaran yang akan terjadi selanjutnya sudah terpampang jelas. Maka aku mengalihkan pandangan dan memilih mencari objek lain untuk diamati. Benar saja, sesaat setelah perawat itu mengusapkan kapas yang mengandung alkohol aku meraskan sengatan kecil yang mungkin menjadi puncak dari ketakutan para Trypanophobia.
Dua buah spuit baru yang diletakan tak jauh dari lenganku yang ku lihat sesaat sebelum proses ini memang sempat sedikit menciutkan nyali dan membuat jantungku berdetak lebih cepat. Tapi selama ketakutan ini bisa diatasi, maka hal ini masih dalam katagori wajar dan belum masuk kedalam golongan Trypanophobia.
Sugesti memberikan andil besar dalam ketakutan terhadap jarum suntik. Aku menduga ini ada kaitannya dengan vaksinasi sewaktu duduk di sekolah dasar. Pada masa itu petugas kesehatan sering berkunjung ke sekolah, dan vaksinasi adalah salah satu programnya. Satu saja siswa yang melihat kedtangan mereka dan berteriak "suntik", seisi kelas berhamburan tidak jelas apa tujuannya sebagian hanya ikut-ikutan tetapi tetapi sugesti "suntik" itu menakutkan tertanam sepanjang jaman.
"Lepas kepalan tangannya pak", pinta perawat itu sembari melepas turniket. Sesaat setelah aku membuka kepalan tangan. Ia meletakan gumpalan kapas kecil dan sekali lagi aku merasakan nyeri ringan tepat di atas titik dimana aku merasakan sengatan kecil sebelumnya. Perawat itu masih menekan kapas sebelum akhirnya memberinya plester pertanda selesai sudah proses pengambilan sampel darah.
"Hasilnya bisa diambil jam 2", ujarnya sembari menempelkan barcode pada sampel.
Pagi Kamis yang cerah sekira pukul sembilan tepat aku sudah bersiap. Tidak ada yang istimewa, kaos lengan panjang abu-abu celana panjang hitam, sandal jepit nipon dan tentu saja tidak ketinggalan masker adalah stelan yang sudah sangat umum aku gunakan saat keluar rumah. Situasi yang sedikit berbeda hanyalah kali ini aku berangkat dengan perut agak keroncongan.
Tentang perutku, ini bukan karena gabut. Tetapi karena kepolosanku menelan mentah-mentah saran dari temannya temanku yang menganjurkan puasa selama 10 jam sebelum melakukan rapid test. Maka pagi ini, aku sengaja tidak menyantap sarapan sup hangat yang sudah disiapkan pagi-pagi buta. Entah ini perlu atau tidak yang pasti saat check up hal ini tidak pernah disinggung atau ditanyakan.
Tidak sulit menemukan gedung Lab. dr Tony. Dengan sedikit bantuan dari Google map, pukul 09.30 aku sudah tiba. Ada sebuah area parkir yang tidak terlalu luas dan dijaga oleh seorang petugas paruh baya. Dilihat gelagatnya, aku tidak akan mendapatkan 3S dari beliau, maka kuputuskan nyelonong saja ke salah sudut dan segera memarkir.
Sudah menjadi tabiat, aku berusaha untuk tidak tergesa-gesa dan selalu menyisihkan sedikit waktu di tempat baru untuk mengamati sekeliling. Sebagai salah satu fasilitas medis suasana bersih dan nyaman sudah jelas terlihat sejak memasuki parkir. Beberapa jenis tanaman merambat dengan bunga merah muda yang menjuntai berpadan dengan alamanda yang rimbun di atap kanopi membuat suasana tampak "liar" namun tetap asri.
Himbauan untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah melaksanakan pemeriksaan, dipampang jelas di pintu kaca nan bersih. Tidak ada satpam atau petugas yang mengarahkan tamu. Pengunjung yang datang bisa langsung menuju bagian administrasi untuk registrasi atau menunggu di kursi-kursi putih yang telah diatur jaraknya sesuai ketentuan protokol kesehatan, jika harus mengantri.
Aku menuju wastafel di sisi kiri pintu masuk. Mencuci tangan dan menuju salah satu kursi putih yang kosong. Ada enam atau kurang lebih tujuh orang di ruangan itu, mereka menempati kursi di samping dan belakang ku. Beberapa dari mereka memegang selembar kertas, dan ketika petugas meneriakan nama, salah seorang diantaranya menuju pintu loket periksa. Rupanya aku duduk di sisi yang salah ini adalah kursi bagi mereka yang sudah mendaftar dan menunggu giliran untuk pengambilan sampel darah.
Beruntung, aku tidak harus berlama-lama di sana. Setelah dua antrian, kursi di bagian administrasi itu kini kosong. Tanpa menunggu, aku bangkit dan melangkah secepat mungkin namun berusaha tetap terlihat santai.
Seorang tenaga kesehatan perempuan yang berperawakan agak gempal sibuk mondar-mandir mengambil kertas yang baru saja keluar dari mesin cetak. Entah kenapa kertas itu tampak familiar. Tidak salah lagi, itu adalah kertas serupa yang dipegang beberapa pengantri dididekat tempat dudukku sebelumnya. Setelah menempelkan stiker berisi barcode dan menyerahkannya kepada petugas check up, perempuan itu kemudian duduk kembali di kursinya.
Petugas itu mencoba bertanya sejelas mungkin, namun masker yang dikenakannya dan dinding kaca yang membatasi kami membuatnya harus mengulang beberapa kali pertanyaan yang sama karena tidak tercerna dengan baik ditelingaku. Setelah menanyakan perihal keperluan, Ia memintaku menunjukan Kartu Tanda Pengenal (KTP). Tanganku meraih sesuatu dan mengeluarkannya dari saku belakang celana. Tidak perlu waktu lama, kartu berlatar biru dan tampak lusuh yang tadinya ada di dalam dompet yang sama lusuhnya itu sudah berpindah ke tangan lawan bicaraku.
Seakan tidak mau kalah dengan jari-jari yang menari lincah di atas tuts kyboard menginput satu persatu data yang diperlukan, mataku juga tidak kalah aktif mengamati sekeliling. Meski relatif luas, sejauh mata melihat tidak ada banner atau x banner diruangan ini. Maka beberapa lembar "brosur" yang ditempel tak jauh dari tempat duduk menjadi satu-satunya magnet yang menarik perhatian. Isi tiga lembar kertas tersebut adalah paket check up yang ditawarkan di lab ini. Lembar pertama berisi daftar paket check up umum, lembar kedua paket check up demam, sedangkan lembar ketiga yang sepintas lebih baru berisi daftar paket pra vaksinasi dan rapid test.
"No hp bapak?", tanya petugas itu membuyarkan konsontrasi. Sekali lagi, jari-jarinya bergerak dari satu angka ke angka yang lain mengikuti bilangan yang aku sebutkan, mengarahkan webcam dan memencet satu tombel terakhir yang diikuti bunyi decitan suara mesin pencetak.
"Dua-dua lima". Ujarnya sambil memperagakan isyarat jari.
Dua ratus dua puluh lima ribu rupiah ini adalah tarif paket yang harus dibayarkan. Paket Covid 2 berisi layanan pemeriksaan IgM dan IgG anti covid 19, serta selembar surat keterangan dokter untuk keperluan perjalanan.
Secara keseluruhan, proses registrasi ini kurang dari lima menit. Setelah memperoleh slip bukti registrasi, yang perlu dilakukan hanyalah menunggu panggilan petugas di bagian check up. Entah untung atau buntung, ketika bagianku aku bahkan belum sempat duduk di kursi tunggu ketika petugas check up memanggil.
Anehnya meski tau ini adalah waktunya eksekusi, aku manut saja. Seperti laron yang tertarik pada cahaya, kakiku melangkah percaya diri menuju loket check up. Loket itu juga di jaga oleh tenaga kesehatan perempuan ber APD lengkap. Ia memintaku menyerahkan bukti registrasi dan mengulurkan lengan kanan.
"Kepalkan tangannya pak", pintanya sebelum mengikatkan turniket berwarna biru di lenganku, tepat beberapa centi di atas lipatan siku. Lalu melakukan palpasi untuk memastikan letak vena median cubital yang kini semakin jelas menyembul.
Sejauh yang aku tau ini adalah proses yang sangat lumrah bagi proses phlebotomy (pengambilan sampel darah) dengan metode venipuncture melalui tusukan vena. Metode ini umumnya memang mengambil sampel darah dari vena median cubital yakni pembuluh balik yang terletak di bagian dalam lipatan siku sebab selain besar dan letaknya dekat dengan permukaan kulit, pembuluh darah ini juga tidak memiliki pasokan saraf besar.
Di dalam kepalaku gambaran yang akan terjadi selanjutnya sudah terpampang jelas. Maka aku mengalihkan pandangan dan memilih mencari objek lain untuk diamati. Benar saja, sesaat setelah perawat itu mengusapkan kapas yang mengandung alkohol aku meraskan sengatan kecil yang mungkin menjadi puncak dari ketakutan para Trypanophobia.
Dua buah spuit baru yang diletakan tak jauh dari lenganku yang ku lihat sesaat sebelum proses ini memang sempat sedikit menciutkan nyali dan membuat jantungku berdetak lebih cepat. Tapi selama ketakutan ini bisa diatasi, maka hal ini masih dalam katagori wajar dan belum masuk kedalam golongan Trypanophobia.
Sugesti memberikan andil besar dalam ketakutan terhadap jarum suntik. Aku menduga ini ada kaitannya dengan vaksinasi sewaktu duduk di sekolah dasar. Pada masa itu petugas kesehatan sering berkunjung ke sekolah, dan vaksinasi adalah salah satu programnya. Satu saja siswa yang melihat kedtangan mereka dan berteriak "suntik", seisi kelas berhamburan tidak jelas apa tujuannya sebagian hanya ikut-ikutan tetapi tetapi sugesti "suntik" itu menakutkan tertanam sepanjang jaman.
"Lepas kepalan tangannya pak", pinta perawat itu sembari melepas turniket. Sesaat setelah aku membuka kepalan tangan. Ia meletakan gumpalan kapas kecil dan sekali lagi aku merasakan nyeri ringan tepat di atas titik dimana aku merasakan sengatan kecil sebelumnya. Perawat itu masih menekan kapas sebelum akhirnya memberinya plester pertanda selesai sudah proses pengambilan sampel darah.
"Hasilnya bisa diambil jam 2", ujarnya sembari menempelkan barcode pada sampel.
Aku mengiyakan, melangkah keluar menuju wastafel, mencuci tangan lantas bergegas menuju parkir. Tidak jauh dari posisiku, kulihat laki-laki paruh baya berompi hijau itu bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan ke arahku. Tidak seperti sebelumnya, ekspresi petugas itu kini tampak lebih ramah. "Terimakasih pak", ucapku sembari menyerahkan selembar uang pecahan Rp 2.000 lalu beranjak pergi.